Sastrawan Sekaligus Penerjemah Indonesia Ali Audah [Sebuah Kata]

Biografi Ali Audah, Sastrawan Sekaligus Penerjemah

  

    Ali Audah adalah Sastrawan Modern di Indonesia berkelahiran Bondowoso, Jawa Timur pada tanggal 14 Juli 1924. Ali Audah lahir dari keturunan arab, nama ayahnya Salim Audah dan ibunya Aisyah Jubran. Pada saat Ali Audah berusia 7 tahun, ayahnya meninggal dunia. Pada saat itu ke-empat saudara Ali Audah belum ada yang bekerja, dan akhirnya mereka semua dirawat oleh ibunya dengan sabar dan bijaksana.

    Pada saat itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, ibu Ali Audah bersama ke-lima anaknya pindah ke kota Kewedanan. Di sini ibu Ali Audah mencoba membuka usaha Restoran untuk menghidupi keluarganya ini, namun usahanya tak bertahan lama, karena selalu merugi. Pada akhirnya mereka sekeluarga memutuskan untuk pindah ke desa industri di dekat surabaya, setelah beberapa lama tinggal di desa itu kehidupan keluarga Ali Audah ditanggung oleh kakaknya yang telah bekerja di perusaha'an tenun.



    Bahkan meskipun dari keturunan darah arab, Ali Audah masih memerlukan pembelajaran lebih dalam mengenai bahasa Arab yang baik, ia mengikuti kursus tertulis Soember Pengetahoean pada zaman pendudukan Jepang. Tak seorang pun dari penikmat sastra indonesia modern yang tak mengenal namanya, baik sastrawan sekaligus sebagai penerjemah. Sebelum menjadi sehebat ini, Ali Audah pernah sesekali mengirim karyanya ke majalah di jakarta namun tak dilirik dan tak diterbitkan oleh kantor majalah itu. Dan pada saat yang cukup senggang dari pengiriman karyanya ke jakarta, ia mencoba mengikuti lomba menulis cerpen dan tak disangka ia terpanggil menjadi juara.

   Banyak pihak  yang mengatakan bahwa beliau, Ali Audah adalah Penerjemah kesayangan tuhan, karena diusia sebelum beliau meninggal, beliau masih tetap berkarya dengan menerjemahkan karya-karya terbaik dunia kedalam bahasa indonesia. Salah satu di antara beragam karyanya yang monumental adalah terjemah Tafsir Alquran 30 Juzz karya Abdullah Yusuf Ali setebal 1.824 halaman. dan Sejarah Hidup Muhammad karya jurnalis dan sastrawan Mesir, Muhammad Husain Haikal. Hingga kini kedua karya tersebut telah berkali-kali cetak ulang.

    Ali Audah tidak lulus di bangku Madrasah Ibtidaiyah, tapi kenapa beliau begitu cerdas, hebat dan ahli bahasa? karena pada saat beliau kecil, beliau belajar menulis hanya mencoretkan batang tumbuhan ke tanah untuk menulis/mencoret-coret sambil bermain gundu, itupun ia belajar bersama teman sepermainannya. Kecerdasan beliau didapat dari membaca buku apasaja sampai seperti Ali Audah yang saat ini kita kenal yang bisa menguasai lebih dari 5 bahasa, yaitu Arab, Inggris, Perancis, Jerman, Belanda dan khususnya bahasa indonesia. "Dari beliau telah terbuktikan bahwa membaca buku adalah awal dari kesuksesan". Karena niatnya yang kuat, akhirnya beliau mampu menjadi seperti sastrawan sekaligus penerjemah. Jika kita meminjam istilah dari Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) Indonesia berhutang budi kepada Ali Audah, karena beliau telah banyak memberi karya-karya yang bermanfa'at bagi bangsa ini.



ALI AUDAH ADALAH SEORANG PEMBELAJAR OTODIDAK

 

    Beliau Ali Audah adalah pembelajar otodidak, dan bahkan beliau tidak tamat Madrasah Ibtidaiyyah atau lulusan pesantren. Dulunya beliau hanyalah pemuda biasa yang sangat gemar membaca dan mencari ilmu dari membaca buku-buku.Dalam tulisan cak nun di websitenya itu www.caknun.com itu, cak nun menuliskan bahwa meskipun Ali Audah tidak tamat Madrasah Ibtidaiyyah ataupun juga bukan lulusan Pesantren tetapi ia mampu menuliskan karya-karya bahasa arab dengan sangat baik. Di imbuhi dengan kalimat bahwa karya karya Ali Audah ini bukan main-main, buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku berkualitas dan dapat menjadi acuan atau referensi utama.

Tanggapan Cak Nun tentang Ali Audah yang belajar secara otodidak

    "Beliau Bapak Ali Audah adalah seorang pembelajar ototidak.Ia tidak tamat Madrasah Ibtidaiyyah dan juga tidak pernah belajar di pesantren. Tetapi ia mampu menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab dengan sangat baik. Bukan main-main, karya yang diterjemahkannya adalah buku-buku yang berkualitas dan menjadi acuan atau referensi utama" Tulis Cak Nun dalam websitenya"

    Emha Ainun Nadjib atau biasa dipanggil Cak Nun ini sangat mengagumi sesosok Ali Audah, beliau terkagum melihat ketekunan beliau Ali Audah, sampai Cak Nun mengungkapkan bahwa dirinya masih kalah jauh dibanding ilmu Ali Audah dalam hal Otodidak atau belajar sendiri. Ali Audah tak lulus Madrasah Ibtidaiyah sedangkan Cak Nun Lulus SMA, Ali Audah belajar sendiri dengan membaca buku-buku secara otodidak sedangkan Cak Nun mengakui bahwa ia belajar otodidak namun tak semurni beliau Ali Audah, Cak Nun menyantri di Gontor sedangkan beliau Ali Audah tak pernah Menyantri dimanapun. Itulah mungkin kekaguman Cak Nun pada Ali Audah yang seharusnya kiai yang biasa dipanggil Cak Nun ini bisa melampaui ilmunya namun kenyataan Ali Audah lebih menguasai semuanya yang telah dipelajari Cak Nun di Gontor.

    Sampai lagi-lagi Cak Nun menuliskan di Website miliknya yaitu www.caknun.com seperti berikut

   "Kekalahan utama saya ada dua hal. Pertama, saya santri Gontor tapi tidak mampu menterjemahkan karya apapun, jangankan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia: dari bahasa Jawa bahasa Ibu saya sendiripun tak ada sebiji karya terjemahan yang saya pernah hasilkan. Kedua, kekalahan yang sangat memalukan. Masyarakat dan ummat Islam tidak pernah menyebut 'Kiai Ali Audah', sementara 'Kiai Ainun Nadjib' ada dalam daftar dan ranking Kiai-Kiai di Indonesia. Padahal yang menguasai bahasa Al-Qur'an adalah Kiai yang tidak tidak terdaftar itu". 

Untuk selebihnya silahkan membaca di website Cak Nun.

    Saya sendiri pun merasa bahwa Cak Nun adalah orang yang hebat dan cerdas, namun kekaguman saya terhadap Cak Nun semakin hebat karena beliau Emha Ainun Nadjib ini tak pernah merasa dirinya pintar, karena masih ada langit diatas langit. Seperti saya mengagumi Cak Nun, ternyata Cak Nun sendiri mengaggumi sosok hebat seperti Ali Audah ini.

 



BANYAK KARYA YANG TERLAHIR DARI TANGAN BELIAU

   Banyak karya yang terlahir dari tangan beliau Ali Audah yang menerima pujian banyak orang dari kalangan muda maupun tua, saya sendiri sangat mengagumi beliau sebagai pembelajar otodidak bisa menjadi sukses seperti ini, meskipun belum sempat membaca buku-bukunya. Dan buku-buku beliau sangatlah laku dipasaran buku, bahkan bukunya yang berjudul "Sejarah Hidup Muhammad, karya Muhammad Husain Haekal" pertama kali terbit pada tahun 1992 dan langsung dicetak sampai 15 kali dan mungkin saat ini sudah dicetak ulang lagi lebih dari 15 kali dan saya pun kurang tahu kepastian berapa kali bukunya telah dicetak ulang untuk saat ini. 

    Ketika diwawancarai oleh Berita Buku Ali audah menjelaskan seperti ini :
   
    "Ya, karya terjemahan yang baik sesungguhnya juga sebuah karya kreatif, tidak kurang berharganya dibanding karya asli. Sekarang ini ada bermacam-macam persepsi di masyarakat terhadap karya terjemahan. Ada yang menyukai karya terjemahan yang baik, ada pula yang arogan tidak mau membaca karya terjemahan. Mereka lebih bangga membaca karya asli. Ada pula orang yang mau membaca karya terjemahan, tapi kalau menulis dan menyebutnya sebagai referensi – untuk catatan kaki atau bibliografi, misalnya – ia menyebutkan karya aslinya. Padahal yang ia baca terjemahannya…

    Saya sendiri dalam menulis artikel, misalnya, kalau memang perlu menyebut sebuah buku sebagai sumber referensi, dan kebetulan sudah ada terjemahannya, saya sebut saja karya terjemahan itu sebagai sumber. Tidak usah lagi kita baca aslinya, apalagi kalau terjemahannya memang bagus. Kan sama saja, cuma lain bahasa. Kecuali kalau memang ada yang kurang jelas, biasanya lalu saya cek ke karya aslinya. Itu pun kalau kebetulan saya punya aslinya. Tapi kalau tidak, cukup terjemahannya. Sebab, terjemahan itu sesungguhnya juga merupakan sebuah karya tersendiri.

     Jadi, terjemahan itu tidak bisa dibilang sebagai karya “kelas dua” setelah karya asli. Sebab, kadang-kadang malah bisa jadi karya terjemahan lebih dikenal orang ketimbang karya aslinya. Seperti di Mesir, misalnya, masyarakat di sana lebih mengenal Habib Ibrahim sebagai “pengarang” Al-Buasa. Padahal itu terjemahan dari Les Miserables (1826) karya pengarang Prancis terkenal, Victor Hugo (1802 – 1885). Begitu terkenalnya Habib Ibrahim di Mesir sebagai “pengarang” Al-Buasa, hingga orang di sana tidak mengenal siapa itu Victor Hugo".

    Berikut adalah karya-karya terjemahan Ali Audah dalam format besar :
  • Tafsir Al-Qur'an 30 Juz ( Abdullah Yusuf Ali, 2009 )
  • Sejarah Hidup Nabi Muhammad ( M. Husain Haekal, 2010 )
  • Abu Bakr As-Siddiq ( M. Husain Haekal, 2010 )
  • Ummar bin Khattab ( M. Husain Haekal, 2011 )
  • Usman bin Affan ( M. Husain Haekal, 2010 )
  • Konkordasi Qur'an ( Referensi), 2008
  • Ali bin Abi Thalib ( Biografi ), 2010
  • Nama dan Kata Dalam Qur'an ( Studi ), 2011\
Jika Ingin Melihat Karya Buku-Buku Ali Audah Lebih banyak Klik Karya Buku-Buku Dan Terjemah Ali Audah
 
    Kira-kira begitulah petikan kisah hidup dari "Ali Audah" seorang Sastrawan sekaligus Penerjemah yang bisa namanya mungkin tak asing lagi bagi penikmat Sastra Indonesia Modern pada saat ini.Jika ingin melihat lebih banyak karya-karya buku dan terjemah Ali Audah Klik Disini. Meskipun tak banyak yang bisa saya jelaskan satu persatu tentang beliau, mungkin apa yang saya tuliskan bisa membuat pembaca mendapatkan hikmah dari kisah beliau dan bisa mendapatkan ilmu dari cara-cara beliau menekuni untuk membaca..membaca dan membaca. Ilmu tak hanya didapat dari sekolah, jika memang benar-benar ingin menambah ilmu, membaca buku adalah sebuah keharusan yang dijalani bagi kalian yang ingin menambah wawasan.

No comments:

Post a Comment